Sabtu, 12 Januari 2013

Menikahi wanita hamil akibat zina


January 7, 2012
Haram hukumnya seorang laki-laki menikahi seorang wanita yang sedang mengandung anak dari orang lain. Dalilnya adalah beberapa nash berikut ini:
أن النبي صلى الله عليه و سلم قال: لا توطأ امرأة حتى تضع
Nabi SAW bersabda, “Janganlah disetubuhi (dikawini) seorang wanita hamil (karena zina) hingga melahirkan.” (HR Abu Daud dan dishahihkan oleh Al-Hakim)
لا يحل لامرئ مسلم يؤمن بالله واليوم الآخر أن يسقى ماءه زرع غيره
Nabi SAW bersabda, “Tidak halal bagi seorang muslim yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menyiramkan airnya pada tanaman orang lain.” (HR Abu Daud dan Tirmizy)
Tetapi bila wanita yang hamil akibat zina (di luar nikah yang sah), maka ada beberapa pendapat ulama:
a. Pendapat Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah menyebutkan bahwa bila yang menikahi wanita hamil itu adalah laki-laki yang menghamilinya, hukumnya boleh. Hanya saja kalau yang menikahinya itu bukan laki-laki yang menghamilinya, maka laki-laki itu tidak boleh menggaulinya hingga melahirkan.
b. Pendapat Imam Asy-Syafi’i
Adapun Al-Imam Asy-syafi’i, pendapat beliau adalah bahwa baik laki-laki yang menghamili atau pun yang tidak menghamili, dibolehkan menikahinya. Sebagaimana tercantum di dalam kitab Al-Muhazzab karya Abu Ishaq Asy-Syairazi juz II halaman 43.
Baik Imam Abu Hanifah maupun Imam Syafii sama-sama membolehkan menikahi wanita hamil akibat zina karena tidak berlaku masa iddah baginya. Masa iddah menurut keduanya hanya untuk perkawinan dalam ikatan yang sah dengan maksud untuk memelihara keturunan dan menghargai sperma.
c. Pendapat Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal
Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan laki-laki yang tidak menghamili tidak boleh mengawini wanita yang hamil. Kecuali setelah wanita hamil itu melahirkan dan telah habis masa ‘iddahnya.
Imam Ahmad menambahkan satu syarat lagi, yaitu wanita tersebut harus sudah tobat dari dosa zinanya. Demikian disebutkan di dalam kitab Al-Majmu’ Syarah Al-Muhazzab karya Al-Imam An-Nawawi, jus XVI halaman 253.
Tampaknya pendapat ketiga (Imam Malik) lebih mashlahat bagi pemeliharaan agama.
d. Undang-undang Perkawinan RI
Dalam Kompilasi Hukum Islam dengan instruksi presiden RI no. 1 tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991, yang pelaksanaannya diatur sesuai dengan keputusan Menteri Agama RI no. 154 tahun 1991 telah disebutkan hal-hal berikut:
  • Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
  • Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dpat dilangsungkan tanpa menunggu lebih duhulu kelahiran anaknya.
  • Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Semua pendapat yang menghalalkan wanita hamil di luar nikah dikawinkan dengan laki-laki yang menghamilinya, berangkat dari beberapa nash berikut ini
Dari Aisyah ra berkata,`Rasulullah SAW pernah ditanya tentang seseorang yang berzina dengan seorang wanita dan berniat untuk menikahinya, lalu beliau bersabda,`Awalnya perbuatan kotor dan akhirnya nikah. Sesuatu yang haram tidak bisa mengharamkan yang halal`. (HR Tabarany dan Daruquthuny).
Juga dengan hadits berikut ini:
Seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW,`Isteriku ini seorang yang suka berzina`. Beliau menjawab,`Ceraikan dia`. `Tapi aku takut memberatkan diriku`. `Kalau begitu mut`ahilah dia`. (HR Abu Daud dan An-Nasa`i)
Ketika seorang laki-laki menikah dengan wanita yang terlanjur dihamilinya, maka akad nikahnya itu sudah sah. Sehingga tidak perlu diulangi lagi, karena akad nikah cukup sekali saja. Kalau sudah sah, maka tidak perlu ada pengulangan. Bagi yang mengadakan nikah ulang, biasanya karena untuk menutup aib dari masyarakat dan mereka menganggap nikah pertama tidak sah secara hukum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar