Mereka percaya
juga bahwa benda-benda seperti pohon besar, batu besar, gunung dan
sebagainya dihuni oleh roh-roh. Ada kalanya benda-benda atau
senjata-senjata juga dianggap bertuah dan sakti sehingga dijadikan jimat
oleh pemiliknya. Upacara pemujaan roh leluhur harus diatur
sebaik-baiknya, agar restu mudah diperoleh. Pertunjukan wayang erat
hubungannya dengan upacara tersebut. Kepercayaan kepada Hyang masih
dapat kita lihat sampai saat ini.
2. JAMAN SRIWIJAYA
Kerajaan
Sriwijaya bukan saja termasyur karena kekuatan angkatan perangnya,
melainkan juga karena merupakan pusat ilmu dan kebudayaan Buddhis. Di
sana terdapat banyak vihara dan dihuni oleh ribuan Bhikkhu. Di Perguruan
Tinggi Agama Buddha di Sriwijaya, selain kuliah-kuliah tentang Agama
Buddha, orang dapat mengikuti juga kuliah-kuliah tentang bahasa
Sansekerta dan bahasa Jawa Kuno (Kawi). Pujangga-pujangga Agama Buddha
terkenal seperti Dharmapala dan Sakyakirti pernah mengajar di Perguruan
Tinggi tersebut. Pada waktu itu Sriwijaya merupakan mercusuar Agama
Buddha di Asia Tenggara. Sriwijaya memancarkan cahaya budaya manusia
yang cemerlang.
Tentang Agama
Buddha di Sriwijaya juga banyak diberitakan oleh Sarjana Agama Buddha
dari Tiongkok yang bernama Itsing. Tahun 672 ia berangkat berziarah ke
tempat-tempat suci Agama Buddha di India. Dalam perjalanan pulang
sekitar tahun 685, ia singgah di Kerajaan Sriwijaya. Ia tinggal di sana
selama 10 tahun untuk mempelajari dan menerjemahkan buku-buku suci Agama
Buddha dari Bahasa Sansekerta ke Bahasa Cina.
Kerajaan Sriwijaya yang didirikan pada ? abad ke-7 dapat bertahan terus hingga tahun 1377.
3. JAMAN SAILENDRA DI MATARAM
Sekitar tahun 775
sampai dengan 850 di daerah Bagelan dan Yogyakarta berkuasalah
raja-raja dari wangsa Sailendra yang memeluk Agama Buddha. Inilah jaman
keemasan bagi Mataram dan negara di bawah pemerintahannya karena keadaan
saat itu aman dan makmur.
Ilmu pengetahuan,
terutama ilmu pengetahuan tentang Agama Buddha, sangatlah maju.
Kesenian – terutama seni pahat, mencapai taraf yang sangat tinggi. Pada
waktu itu seniman-seniman Bangsa Indonesia telah menghasilkan karya seni
yang mengagumkan, misalnya Candi Borobudur, Pawon, Mendut, Kalasan, dan
Sewu.
Selain
candi-candi tersebut di atas, sebenarnya masih banyak lagi candi-candi
yang didirikan atas perintah raja-raja Sailendra. Tetapi yang paling
besar dan paling indah adalah Candi Borobudur. Setelah Raja
Samarottungga meninggal dunia, Mataram kembali diperintah oleh raja-raja
dari wangsa Sanjaya yang beragama Hindu, namun Agama Buddha dan Agama
Hindu dapat berkembang terus berdampingan dengan rukun dan damai.
4. JAMAN MAJAPAHIT
Di bawah
raja-raja Majapahit (tahun 1292 sampai dengan tahun 1478) yang menganut
Agama Hindu, Agama Buddha masih dapat berkembang dengan baik. Toleransi
dalam bidang keagamaan dijaga baik-baik, sehingga pertentangan antar
agama tak pernah terjadi.
Pada waktu
pemerintahan Raja Hayam Wuruk, seorang pujangga terkenal, Mpu Tantular,
menulis sebuah buku yang berjudul “Sutasoma”, di mana di dalamnya
terdapat kalimat Ciwa Buddha Bhinneka Tunggal Ika Tanhang Dharma
Mandrawa. Dari kata-kata inilah kemudian diambil semboyan “Bhinneka
Tunggal Ika” yang kini dijadikan lambang Negara Republik Indonesia yang
melambangkan motto toleransi dan persatuan.
Setelah Kerajaan
Majapahit runtuh pada tahun 1478, maka berangsur-angsur Agama Buddha dan
Hindu digeser kedudukannya oleh Agama Islam.
5. JAMAN ABAD KE-20
Agama Buddha
mulai bangkit kembali di Pulau Jawa ditandai dengan datangnya Y.M.
Bhikkhu Narada Thera dari Sri Lanka (Ceylon) pada bulan Maret 1934.
Selama berada di Pulau Jawa, Y.M. Bhikkhu Narada telah melakukan
sejumlah kegiatan. Antara lain sebagai berikut:
* Memberikan khotbah-khotbah dan pelajaran-pelajaran Buddha Dhamma di beberapa tempat di Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Tengah.
* Memberkahi penanaman Pohon Bodhi di pelataran Candi Borobudur pada 10 Maret 1934.
* Membantu dalam pendirian Java Buddhist Association (Perhimpunan Agama Buddha yang pertama) di Bogor dan Jakarta.
* Menjalin kerja sama yang erat dengan Bhikshu-Bhikshu (hweshio-hweshio) dari klenteng-klenteng Kim Tek Ie, Klenteng Toeng San Tong di Jakarta, Klenteng Hok Tek Bio di Bogor, Klenteng Kwan Im Tong di Bandung, Klenteng Tin Kok Sih di Solo, dan perhimpunan-perhimpunan Theosofie di DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Tengah.
* Melantik upasaka dan upasika di tempat-tempat yang dikunjungi.
* Memberkahi penanaman Pohon Bodhi di pelataran Candi Borobudur pada 10 Maret 1934.
* Membantu dalam pendirian Java Buddhist Association (Perhimpunan Agama Buddha yang pertama) di Bogor dan Jakarta.
* Menjalin kerja sama yang erat dengan Bhikshu-Bhikshu (hweshio-hweshio) dari klenteng-klenteng Kim Tek Ie, Klenteng Toeng San Tong di Jakarta, Klenteng Hok Tek Bio di Bogor, Klenteng Kwan Im Tong di Bandung, Klenteng Tin Kok Sih di Solo, dan perhimpunan-perhimpunan Theosofie di DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Tengah.
* Melantik upasaka dan upasika di tempat-tempat yang dikunjungi.
Nama-nama dari para perintis bangkitnya kembali Agama Buddha di Pulau Jawa pada waktu itu adalah antara lain:
1. Pandita Josias
van Dienst, Deputy Director General Buddhist Mission, Java Section
(Headquarter-nya berada di Thaton, Birma) dan
2. Kwee Tek Hoay, Direktur dan Redaktur Kepala dari Majalah Moestika Dharma, Jakarta.
2. Kwee Tek Hoay, Direktur dan Redaktur Kepala dari Majalah Moestika Dharma, Jakarta.
Tahun 1938
berdirilah Sam Kauw Hwee di beberapa tempat di Indonesia. Pada tahun
1952 Sam Kauw Hwee-Sam Kauw Hwee tersebut bergabung menjadi Gabungan Sam
Kauw Indonesia (GSKI), kemudian mengganti nama menjadi Gabungan Tri
Dharma Indonesia.
Pada tahun 1953
The Boan An dari Bogor ditahbiskan menjadi Bhikkhu Therav?da di Birma
oleh Ven. Mahasi Sayadaw dan diberi nama Ashin Jinarakkhita. Sekitar
tahun 1955-1956 berdiri Persaudaraan Upasaka-Upasika Indonesia (PUUI).
Tanggal 3 Mei
1958 dibentuk Perhimpunan Buddhis Indonesia (disingkat PERBUDI) yang
berkedudukan di Semarang. Tetapi sejak tahun 1965 dipindahkan ke
Jakarta. Tahun 1970 PERBUDI menjadi PERBUDDHI sebagai gabungan dari
PERBUDI, PUUI (Persaudaraan Upasaka-Upasika Indonesia), GPBI (Gerakan
Pemuda Buddhis Indonesia), dan Wanita Buddhis Indonesia.
Pada tahun 1959 Y.M. Narada Mahathera kembali datang ke Indonesia disertai 12 orang Bhikkhu senior dari beberapa negara, yaitu:
1. H.E. Somdach Choun Nath Mahathera dari Kamboja.
2. Ven. Ung Mean Chanavanno Mahathera dari Kamboja.
3. Ven. Agga Maha Pandita Mahasi Sayadaw dari Birma.
4. Ven. Narada Mahathera dari Sri Lanka.
5. Ven. Tudawe Arivawangsa Nayaka Thera dari Sri Lanka.
6. Ven. Piyadasi Mahathera dari Sri Lanka.
7. Ven. Walane Satthisara Mahathera dari Sri Lanka.
8. Ven. Kamburugamuwe Mahanama Mahathera dari Sri Lanka.
9. Ven. Ransegoda Sarapala Thera dari Sri Lanka.
10. Ven. Phra Visal Samanagun dari Thailand.
11. Ven. Phra Sumreng Arnuntho Thera dari Thailand.
12. Ven. Phra Kru Champirat Threra dari Thailand.
13. Ven. Phra Kaveevorayan dari Thailand.
2. Ven. Ung Mean Chanavanno Mahathera dari Kamboja.
3. Ven. Agga Maha Pandita Mahasi Sayadaw dari Birma.
4. Ven. Narada Mahathera dari Sri Lanka.
5. Ven. Tudawe Arivawangsa Nayaka Thera dari Sri Lanka.
6. Ven. Piyadasi Mahathera dari Sri Lanka.
7. Ven. Walane Satthisara Mahathera dari Sri Lanka.
8. Ven. Kamburugamuwe Mahanama Mahathera dari Sri Lanka.
9. Ven. Ransegoda Sarapala Thera dari Sri Lanka.
10. Ven. Phra Visal Samanagun dari Thailand.
11. Ven. Phra Sumreng Arnuntho Thera dari Thailand.
12. Ven. Phra Kru Champirat Threra dari Thailand.
13. Ven. Phra Kaveevorayan dari Thailand.
Tanggal 21 Mei
1959, Ong Tiang Biauw (dari Tangerang) ditahbiskan menjadi Bhikkhu di
“International Sima” di Kassap, Semarang oleh H.E. Somdach Choun Nath
Mahathera dari Kamboja dengan nama Jinaputta. Pada hari yang sama I Ktut
Tangkas (dari Mengwi, Bali) ditahbiskan menjadi Samanera Jinapiya dan
Sontomihardjo (dari Kutoarjo) menjadi Samanera Jinananda. Tanggal 3 Juni
1959 di Pura Besakih, Samanera Jinapiya ditahbiskan menjadi bhikkhu
(pada tanggal 12-2-1976 sempat lepas jubah) oleh Ven. Narada Mahathera.
Tanggal 26 Juli 1988 ia ditahbiskan kembali di Wat Bovoranives, Bangkok
dan diberi nama Thitaketuko.
Antara 1963
sampai dengan 1965 terdapat perbedaan pendapat dan pandangan di kalangan
pimpinan umat Buddha, sehingga di sana-sini didirikan
organisasi-organisasi Buddhis baru yang dalam prakteknya satu dengan
yang lain saling menjatuhkan.
Pada 15 November
1966, Samanera Jinagiri (dari Banjar, Singaraja Bali) ditahbiskan
menjadi Bhikkhu di Wat Benchamabophit, Bangkok oleh Ven. Chau Kun
Dhammakittisophon dan diganti namanya menjadi Girirakkhito. Pada
kesempatan yang sama juga ditahbiskan Samanera Jinaratana menjadi
bhikkhu. (Pada tanggal 18 Desember 1976 ikut menyusul rekannya Bhikkhu
Jinapiya untuk lepas jubah, dan kembali menjadi umat Buddha biasa).
Selanjutnya pada tahun 1967 Soenaryo (dari Solo) ditahbiskan manjadi
Bhikkhu di Sri Lanka dan diberi nama Sumanggalo (meninggal di Belanda
pada 2 September 1987).
Pada 14 Mei 1967
di Lawang dibentuk Perhimpunan Tempat Ibadah Tri Dharma (PTITD) untuk
seluruh Jawa Timur dengan Ketua Umum Ong Kie Tjay dari Surabaya.
Di tahun 1969
datanglah Ven. Chau Kun Phra Dhepvoravethi dari Wat Paknam, Thonburi,
Bangkok. Setelah kembali ke Bangkok, ia mengirim, melalui Y.M. Bhikkhu
Jinaratana, buku-buku bagian dari Kitab Suci Tipitaka dalam Bahasa Pali
dan Inggris dan patung-patung Buddha dari kuningan untuk vihara-vihara
di Banten, Bogor, Garut, Muntilan, Purworejo, Bali, Ujung Pandang,
Samarinda, Palembang, Jambi, dan tempat-tempat lainnya.
Selain
candi-candi tersebut di atas, sebenarnya masih banyak lagi candi-candi
yang didirikan atas perintah raja-raja Sailendra. Tetapi yang paling
besar dan paling indah adalah Candi Borobudur. Setelah Raja
Samarottungga meninggal dunia, Mataram kembali diperintah oleh raja-raja
dari wangsa Sanjaya yang beragama Hindu, namun Agama Buddha dan Agama
Hindu dapat berkembang terus berdampingan dengan rukun dan damai.
Pada tahun itu
juga datang di Indonesia empat orang Dhammaduta dari Thailand untuk
membantu mengembangkan Agama Buddha di Indonesia. Mereka adalah Ven.
Phra Kru Pallad Attachariya Nukich (sekarang memakai nama Chau Kun
Vidhurdhammabhorn), Ven. Phra Kru Pallad Viriyacarya, Ven. Phra Maha
Prataen Khemadas, dan Ven. Phara Maha Sujib Khemacharo.
Tahun 1969 juga,
untuk pertamakalinya mahasiswa Buddhis di Jakarta mengadakan Upacara
Asadha di Gandhi School, Jakarta. Dua tahun kemudian terbentuklah
Keluarga Mahasiswa Buddhis Jakarta (KMBJ).
Menjelang
perayaan Waisak tahun 1971, datang rombongan Bhikkhu dari Thailand untuk
meresmikan Brahma-Vihara yang terletak di Banjar, Singaraja Bali.
Rombongan tersebut terdiri dari Ven. Chau Kun Phra Dhammakittisophon
dari Wat Benjamabophit, Ven. Chau Kun Phra Dhepgunaphon dari Wat Sraket,
Ven. Chau Kun Phra Patrasaramuni dari Wat Prabatmingmaung, Prae, dan
Ven. DR. Phra Maha Singhaton Narasabho dari Wat Prajetubon.
Pada 12 Januari
1972 terbentuk Sangha Indonesia yang terdiri dari Y.M. Bhikkhu Jinapiya,
Y.M. Bhikkhu Girirakkhito, Y.M. Bhikkhu Jinaratana, Y.M. Bhikkhu
Sumanggalo, dan Y.M. Bhikkhu Subhato.
Tanggal 28 Mei
1972 dicetuskan ikrar persatuan dan kesatuan dari tujuh organisasi
Buddhis menjadi satu organisasi tunggal dengan nama Buddha Dharma
Indonesia (BUDHI). Di samping itu, berdiri juga sebuah Majelis yang
diberi nama Majelis Buddha Dharma Indonesia yang kelak akan menetapkan
pedoman-pedoman mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan Agama
Buddha di Indonesia. Ketujuh organisasi yang menandatangani ikrar
tersebut di atas adalah:
1. Perhimpunan Buddhis Indonesia (PERBUDDHI),
2. Buddhis Indonesia,
3. Musyawarah Umat Buddha Seluruh Indonesia (MUBSI),
4. Gabungan Tri Dharma Indonesia,
5. Persaudaraan Umat Buddha Salatiga,
6. Majelis Ulama Agama Buddha Indonesia (MUABI), dan
7. Dewan Vihara Indonesia.
2. Buddhis Indonesia,
3. Musyawarah Umat Buddha Seluruh Indonesia (MUBSI),
4. Gabungan Tri Dharma Indonesia,
5. Persaudaraan Umat Buddha Salatiga,
6. Majelis Ulama Agama Buddha Indonesia (MUABI), dan
7. Dewan Vihara Indonesia.
Perlu diketahui,
Gabungan Tri Dharma Indonesia dan Majelis Ulama Agama Buddha Indonesia
(MUABI), karena sesuatu hal, tidak meleburkan diri ke dalam Buddha
Dharma Indonesia (BUDHI).
Atas prakarsa Dirjen Bimas Hindu dan Buddha, pada tahun 1974 terbentuk Sangha Agung Indonesia (SAI).
Pada 23 Juli 1975
alm. Ibu Tien Soeharto meresmikan Arya Dwipa Arama di Taman Mini
Indonesia Indah dan menyerahkan penggunaannya kepada umat Buddha
Indonesia yang diterima oleh Suraji Ariakertawijaya.
Pada 12-14 Maret
1976 diselenggarakan Pasamuan ke-I Majelis Buddha Dharma Indonesia di
Lawang. Pasamuan itu berhasil membuat beberapa ketetapan mengenai
berbagai aspek Agama Buddha di Indonesia. Dalam pertemuan tersebut juga
terbentuk Badan Pekerja Majelis Buddha Dharma Indonesia.
Tanggal 29
September 1976 terbentuk Gabungan Umat Buddha Seluruh Indonesia (GUBSI)
dengan Ketua Umum Rd. Eko Sasongko Praptomo, SH., dan Sekjen Drs.
Pannajiwa AT. GUBSI terdiri dari gabungan umat dari tujuh organisasi,
yaitu:
1. Buddha Dharma Indonesia (BUDHI),
2. Gabungan Tri Dharma Indonesia (GTI),
3. Gabungan Vihara Buddha Mahayana Indonesia,
4. Majelis Agama Buddha Nichiren Shoshu Indonesia,
5. Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia (MAPANBUMI),
6. Pamong Umat Buddha Kasogatan,
7. Perhimpunan Buddha Dharma Indonesia (PERBUDHI).
2. Gabungan Tri Dharma Indonesia (GTI),
3. Gabungan Vihara Buddha Mahayana Indonesia,
4. Majelis Agama Buddha Nichiren Shoshu Indonesia,
5. Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia (MAPANBUMI),
6. Pamong Umat Buddha Kasogatan,
7. Perhimpunan Buddha Dharma Indonesia (PERBUDHI).
Pada tanggal 3
Oktober 1976 di Bandung terbentuk Majelis Pandita Buddha Dhamma
Indonesia (MAPANBUDHI), dengan Sekjen MPU Khemanyana Karbono dan Wakil
Sekjen MPU (alm.) Sumedha Widyadharma.
Tanggal 11
Oktober 1976 terbentuk Majelis Agung Buddha Indonesia (MABI) sebagai
forum konsultasi dari Majelis-majelis Agama Buddha yang ada, yaitu
Majelis Ulama Agama Buddha Indonesia (MUABI), Majelis Pandita Buddha
Maitreya Indonesia (MAPANBUMI). Majelis Buddha Dharma Indonesia.
Gabungan Tri Dharma Indonesia (GTI). Majelis Kasogatan. Nichiren Shoshu.
Perhimpunan Tempat Ibadah Tri Dharma (PTITD).
Tanggal 23
Oktober 1976 merupakan tanggal yang bersejarah bagi Agama Buddha mazhab
Theravada di Indonesia. Karena pada hari itu berdirilah Sangha Theravada
Indonesia di Vihara Maha Dhammaloka, Semarang (sekarang Vihara Tanah
Putih). Para Bhikkhu yang tercatat sebagai pendirinya adalah Y.M.
Bhikkhu Aggabalo, Y.M. Bhikkhu Khemasarano (alm.), Y.M. Bhikkhu
Suddhammo (alm.), Y.M. Bhikkhu Khemiyo, dan Y.M. Bhikkhu Nanavuttho.
Pada 7 – 8 Mei
1978 telah dilangsungkan Kongres Umat Buddha di Yogyakarta dan
terbentuklah Perwalian Umat Buddha Indonesia (WALUBI) sebagai wadah
tunggal umat Buddha di Indonesia dengan Suparto Hs. Sebagai ketua dan
anggota-anggotanya adalah Suwarto Kolopaking, S.H., Ir. T. Soekarno,
Gunawan Sindhumarto, S.H., Drs. Oka Diputhera, Bhaggadewa Siddharta,
Herman S. Endro, S.H., dan Hartanto Kulle.
Tanggal 9 Maret
1981 dibentuk Yayasan Jakarta Dhammacakkha Jaya dengan Ketuanya adalah
(alm.) Bapak O. P. Koesno dan sebagai Sekretaris diangkatlah (alm.) Drs.
Teja S. M. Rashid .
Pada 8 – 11 Juli 1986 di Jakarta diadakan Kongres I WALUBI yang dibuka oleh Presiden Soeharto.
Pengukuhan
Uposathagara yang terletak di Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya, Jakarta
dilakukan pada 24 Agustus 1985. Upacara dipimpin oleh Somdet Phra
Nyayasamvara dari Wat Bovoranives, Bangkok, Thailand yang datang bersama
lebih dari sepuluh orang Bhikkhu dari Thailand. Yang juga banyak
perannya dalam pembangunan Uposathagara tersebut adalah Phra Sombat
Pavito Thera (juga dari Thailand). Dengan adanya Uposathagara tersebut,
maka para calon Bhikkhu dari Indonesia tidak perlu lagi harus ke
Thailand untuk ditahbiskan. Maka, untuk pertama kalinya, tepatnya pada 6
Desember 1987, Uposathagara itu dipergunakan untuk menahbiskan tiga
orang Bhikkhu Indonesia dengan Y.M. Sukhemo Thera sebagai Upajjhaya.
Tiga orang Bhikkhu adalah Y.M. Bhikkhu Jagaro, Y.M. Bhikkhu Gandhako
(alm.), dan Y.M. Bhikkhu Khantidharo.
Sidang Khusus
Widyeka Sabha WALUBI pada 8 Juli 1987 dan Sidang DPP WALUBI (9-10 Juli
1987) menjadi sidang-sidang yang penting. Karena melalui sidang-sidang
itu, Widyeka Sabha WALUBI mengambil keputusan bulat mengenai NSI
(Nichiren Syosyu Indonesia) dengan tidak mengakuinya sebagai sebuah
Majelis Agama Buddha di Indonesia. Dasar yang dipakai antara lain, NSI
ternyata berisi ajaran dan doktrin yang menyimpang/menyeleweng dari
Agama Buddha yang berpedoman pada Kitab Suci Tripitaka/Tipitaka secara
utuh terpadu sebagaimana yang diajarkan oleh Sang Buddha
Gautama/Sakyamuni. Keputusan ini kemudian dilaksanakan oleh DPP WALUBI
dengan mengeluarkan NSI dari keanggotaan WALUBI melalui Pernyataan DPP
WALUBI No.01/DPP/WALUBI/87. Setelah peristiwa itu, WALUBI terdiri dari 3
(tiga) Sangha dan 6 (enam) Majelis Agama Buddha.
Pada Juli 1991
Sangha Therav?da Indonesia (STI) menyerahkan upadi (tanda penghargaan)
kepada tiga orang tokoh umat Buddha, bertempat di Vihara Jakarta
Dhammacakka Jaya, Jakarta. Ketiganya adalah Sumedha Widyadharma mendapat
gelar SASANA CARIYA, (alm.) Anton Haliman mendapat gelar SASANA PALA,
dan Visakha Hartati Tjakra Murdaya mendapat gelar SASANA PALA. Gelar
penghargaan ini merupakan gelar kehormatan tertinggi saat itu dan juga
yang pertama kali diberikan oleh STI.
Mulai 1993 sampai
dengan 1994 kembali terjadi kemelut di dalam tubuh WALUBI. Kemelut kali
ini berakhir dengan diberhentikannya Sangha Agung Indonesia dan Majelis
Buddhayana Indonesia dari keanggotaan WALUBI pada 15 Oktober 1994.
Pada 12 Juli 1994
untuk pertama kalinya, Presiden Soeharto (saat itu) dan (alm.) Ny. Tien
Soeharto bersedia menghadiri Dharmasanti Waisak 2538/1994 di Jakarta
Hilton Convention Centre bersama dengan Wakil Presiden Tri Sutrisno dan
Ny. Tuti Try Sutrisno serta sejumlah menteri.
Pada 18 Agustus
1994 dibentuk satu lembaga Buddhis baru yang diberi nama Keluarga
Cendekiawan Buddhis Indonesia (KCBI) dengan Siti Hartati Murdaya, MBA
sebagai Ketua Umum dan Drs. Oka Diputhera sebagai Sekjen.
Tanggal 2 April
1995 bertempat di Vihara Mendut, Mungkid, Jawa Tengah, Sangha Theravada
Indonesia menganugerahkan tanda penghormatan kepada tiga orang Pengurus
Pusat Majelis Pandita Buddha Dhamma Indonesia (MAPANBUDHI, sekarang
Magabudhi -red). Penghargaan itu diberikan karena pengabdian terus
menerus disertai dedikasi yang tinggi selama lebih dari dua puluh lima
tahun dan turut aktif mengembangkan Agama Buddha Theravada di Indonesia.
Mereka adalah Drs. Teja S. Mochtar Rashid (mendapat gelar DHAMMA
VISARADA), Herman Satriyo Endro, S.H. (DHAMMA LANKARA), dan dr. R. Surya
Widya (SASANA DHAJA).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar