Agama
Hindu dan Buddha merupakan Agama yang berasal dari negara India, yang
pada perjalanannya menjadi salah satu agama-agama terbesar pengikutnya.
Secara garis besar perkembangan agama Hindu dibedakan menjadi tiga
tahap. Tahap pertama berlangsung sekitar abad 1500-1000 SM yang dikenal
dengan agama Weda. Tahap kedua ditandai dengan munculnya agama Brahman
(1000-750 SM), tahap kedua adalah zaman agama Buddha yang berlangsung
sekitar 500 SM-300 M. yang mempunyai corak berbeda dengan agama Weda.
Tahap ketiga ditandai dengan munculnya pemikiran-pemikiran kefilsafatan
yang berpusat di sekitar sungai Gangga (750-300 M), dan tahap yang
ketiga adalah apa yang dikenal dengan agama Hindu yang berlangsung sejak
300 M. sampai sekarang.[1] Agama Hindu berkembang hingga ke luar India
termasuk Indonesia, yang dibawa oleh para Rsi atau para Brahman. Agama
Hindu merupakan agama impor yang pertama kali masuk ke Indonesia dan
berinteraksi dengan masyarakat Indonesia yang notabenenya sudah
mempercayai Animisme dan Dinamisme.
Sedangkan
agama Buddha sendiri bisa dikatakan sebagai pembaharu dari agama Hindu
yang dibawa oleh Sidharta Gautama. Yang pada perjalannya sang Buddha
sendiri melakukan pengembaraan untuk mencari penerahan yang abadi.
Berbeda halnya dengan agama hindu, agama Buddha lebih banyak berkembang
di Cina di bandingkan dengan asal mulanya agama tersebut yaitu India.
Sedangakan
Agama Hindu dan Buddha masuk di Indonesia sekitar abad ke 7 M, yang
dibawa oleh para Rsi maupun para Bikhhu. Harun Hadiwijono mengatakan
bahwa kira-kira abad ke 15 SM. nenek moyang bangsa Indonesia memasuki
Indoneisa dari daratan Cina Selatan, dengan melewati dua jalur, yaitu
jalur utara dan barat. Jalur utara melewati Jepang, Taiwan, Pilipin,
dan menyebrang di Sulawesi, Indoneisa bagian Timur, Irian dan Melanesia,
sedangakan jalur barat melewati Indo Cina, Siam, Malaya, serta menyebar
di Sumatra, Jawa dan Kalimantan.[2] Dan dari perjalan atau jalur
tersebut, saya berpendapat ini merupakan salah satu cara masuknya atau
berkembanganya pengaruh agama Hindu dan Buddha di Indonesia.
Dalam
bab selanjutnya akan dibahas tentang kedatangan awal agama Hindu-Buddha
dan pembawanya berdasarkan analisis teori. Selanjutnya membicarakan
bagaimana interaksi dengan kebudayaan Indonesia dan perkembangan Agama
Hindu-Buddha di Indonesia yang ditandai dengan banyaknya peninggalan
kerajaan atau berupa prasasti, bangunan dan segala aspek yang bercorakan
Hindu-Buddha. Pada pembahasan selanjutnya kita membahas tentang
persamaan dan perbedaan Agama Hindu-Buddha di India, Jawa dan Bali. Dan
pada pembahasan terakhir kita membicarakan Hindu Dharma dan Buddha
Dharma yang mana ini merupakan ciri khas agama Hindu-Buddha yang ada di
Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Kedatangan Awal Agama Hindu-Buddha di Indonesia dan Pembawanya (Analisis Teori)
Di
Benua Asia terdapat dua negeri besar yang tingkat peradabannya dianggap
sudah tinggi, yaitu India dan Cina. Kedua negeri ini menjalin hubungan
ekonomi dan perdagangan yang baik dengan Negara-negara tetangga
lainnya. Arus lalu lintas perdagangan dan pelayaran berlangsung melalui
jalan darat dan laut. Salah satu jalur lalu lintas laut yang dilewati
India-Cina adalah Selat Malaka. Dan Indonesia terletak di jalur dua
benua dan dua samudera, serta berada di dekat Selat Malaka.
Proses Masukknya Agama Hindu-Buddha ke Indonesia.
Peta Jalur Perdagangan Laut Asia Tenggara
Agama
Hindu- Budha berasal dari India, yang kemudian menyebar ke Asia Timur
dan Asia Tenggara termasuk Indonesia. Indonesia sebagai negara kepulauan
letaknya sangat strategis, yaitu terletak diantara dua benua (Asia dan
Australia) dan dua samudra (Indonesia dan Pasifik) yang merupakan daerah
persimpangan lalu lintas perdagangan dunia. Untuk lebih jelasnya,
silahkan amati gambar peta jaringan perdagangan laut Asia Tenggara di
atas.
Awal
abad Masehi, jalur perdagangan tidak lagi melewati jalur darat (jalur
sutera) tetapi beralih kejalur laut, sehingga secara tidak langsung
perdagangan antara Cina dan India melewati selat Malaka. Untuk itu
Indonesia ikut berperan aktif dalam perdagangan tersebut. Akibat
hubungan dagang tersebut, maka terjadilah kontak/hubungan antara
Indonesia dengan India, dan Indonesia dengan Cina. Hal inilah yang
menjadi salah satu penyebab masuknya budaya India ataupun budaya Cina ke
Indonesia. Mengenai siapa yang membawa atau menyebarkan agama Hindu -
Budha ke Indonesia, tidak dapat diketahui secara pasti, walaupun
demikian para ahli memberikan pendapat tentang proses masuknya agama
Hindu - Budha atau kebudayaan India ke Indonesia.
Keterlibatan
bangsa Indonesia dalam kegiatan perdagangan dan pelayaran internasional
tersebut menyebabkan timbulnya percampuran budaya. Misalnya saja
India, negara pertama yang memberikan pengaruh kepada Indonesia, yaitu
dalam bentuk budaya Hindu. Para sejarawan mengatakan bahwa banyak
pendapat atau teori masuknya agama hindu di Indonesia, antara lain:[3]
1. Teori Brahman
Teori
ini di kemukakan oleh J.C. Van Leur, berpendapat bahwa agama Hindu
masuk ke Indonesia dibawa oleh kaum Brahman. Hanya kaum Brahmanalah
yang berhak mempelajari serta mengajarkan agama Hindu karena hanya kaum
Brahmanlah yang mengerti isi kitab suci Weda. Kedatangan Kaum Brahmana
tersebut diduga karena undangan Penguasa/Kepala Suku di Indonesia atau
sengaja datang untuk menyebarkan agama Hindu ke Indonesia. Beliau
juga mengatakan bahwa kaum Brahman sangat berperan dalam penyebaran
agama dan kebudayaan agama Hindu ke
Indonesia.
2. Teori Ksatria
Terdapat
dua pendapat mengenai teori Ksatria yang pertama menurut
Prof.Dr.Ir.J.L.Moens berpendapat bahwa yang membawa agama Hindu ke
Indonesia adalah kaum ksatria atau golongan prajurit, karena adanya
kekacauan politik/peperangan di India abad 4 - 5 M, maka prajurit yang
kalah perang terdesak dan menyingkir ke Indonesia, bahkan diduga
mendirikan kerajaan di Indonesia. Yang dikemukakan oleh F.D.K. Bosch,
menyatakan bahwa adanya raja-raja dari India yang datang menaklukan
daerah-daerah tertentu di Indonesia yang telah mengakibatkan penghinduan
penduduk setempat.
3. Teori Wasiya
Yang
dikemukakan oleh N.J. Krom, mengatakan bahwa pengararuh Hindu masuk ke
Indonesai melalui golongan pedagang dari kasta waisya yang menetap di
Indonesai dan kemudian memegang peranan penting dalam proses penyebaran
kebudayaan India termasuk agama Hindu.
4. Teori Sudra
Von
van Faber, menyatakan bahwa agama Hindu masuk ke Indonesia dibawah oleh
kasta sudra. Tujuan mereka adalah mengubah kehidupan karena di India
mereka hanya hidup sebagai pekerja kasar dan budak. Dengan jumlah yang
besar, diduga golongan sudralah yang memberi andil dalam penyebaran
agama dan kebudayaan Hindu ke Nusantara.
5. Teori Campuran
Teori
ini beranggapan bahwa baik kaum brahmana, ksatria, para pedagang,
maupun golongan sudra bersama-sama menyebarkan agama Hindu ke Indonesia
sesuai dengan peran masing-masing.
6. Teori Arus Balik
Teori
arus blik ini tidak hanya berlaku untuk proses masuknya agamaHindu ke
Indonesia saja melainkan untuk agama Buddha juga. Para ahli mengatakan
bahwa banyak pemuda di Indonesia yang belajar agama Hindu dan Buddha ke
India. Di perantauan mereka mendirikan organisasi yang disebut
Sanggha. Setelah memperoleh ilmu yang banyak, mereka kembali untuk
menyebarkannya. Sedangakan menurut pendapat FD. K. Bosh, teori arus
balik ini menekankan peranan bangsa Indonesia dalam proses penyebaran
kebudayaan Hindu dan Budha di Indonesia. Menurutnya penyebaran budaya
India di Indonesia dilakukan oleh para cendikiawan atau golongan
terdidik. Golongan ini dalam penyebaran budayanya melakukan proses
penyebaran yang terjadi dalam dua tahap yaitu sebagai berikut: Pertama,
proses penyebaran di lakukan oleh golongan pendeta Buddha atau para
biksu, yang menyebarkan agama Budha ke Asia termasuk Indonesia melalui
jalur dagang, sehingga di Indonesia terbentuk masyarakat Sangha, dan
selanjutnya orang-orang Indonesia yang sudah menjadi biksu, berusaha
belajar agama Budha di India. Sekembalinya dari India mereka membawa
kitab suci, bahasa sansekerta, kemampuan menulis serta kesan-kesan
mengenai kebudayaan India. Dengan demikian peran aktif penyebaran
budaya India, tidak hanya orang India tetapi juga orang-orang Indonesia
yaitu para biksu Indonesia tersebut. Hal ini dibuktikan melalui karya
seni Indonesia yang sudah mendapat pengaruh India masih menunjukan
ciri-ciri Indonesia. Kedua, proses penyebaran kedua dilakukan oleh
golongan Brahmana terutama aliran Saiva-siddharta. Menurut aliran ini
seseorang yang dicalonkan untuk menduduki golongan Brahmana harus
mempelajari kitab agama Hindu bertahun-tahun sampai dapat ditasbihkan
menjadi Brahmana. Setelah ditasbihkan, ia dianggap telah disucikan oleh
Siva dan dapat melakukan upacara Vratyastome / penyucian diri untuk
menghindukan seseorang
Pada
dasarnya teori Brahmana, Ksatria dan Waisya memiliki kelemahan yaitu,
golongan Ksatria dan Waisya tidak mengusai bahasa Sansekerta. Sedangkan
bahasa Sansekerta adalah bahasa sastra tertinggi yang dipakai dalam
kitab suci Weda. Dan golongan Brahmana walaupun menguasai bahasa
Sansekerta tetapi menurut kepercayaan Hindu kolot tidak boleh
menyebrangi laut.
Jadi
hubungan dagang telah menyebabkan terjadinya proses masuknya penganut
Hindu - Budha ke Indonesia. Beberapa teori di atas menunjukan bahwa
masuknya pengaruh Hindu - Budha merupakan satu proses tersendiri yang
terpisah namun tetap di dukung oleh proses perdagangan.
Untuk
agama Budha diduga adanya misi penyiar agama Budha yang disebut dengan
Dharmaduta, dan diperkirakan abad 2 Masehi agama Budha masuk ke
Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan adanya penemuan arca Budha yang
terbuat dari perunggu diberbagai daerah di Indonesia antara lain Sempaga
(Sulsel), Jember (Jatim), Bukit Siguntang (Sumsel). Dilihat
ciri-cirinya, arca tersebut berasal dari langgam Amarawati (India
Selatan) dari abad 2 - 5 Masehi. Dan di samping itu juga ditemukan arca
perunggu berlanggam Gandhara (India Utara) di Kota Bangun, Kutai
(Kaltim).
Pada
umumnya para ahli cenderung kepada pendapat yang menyatakan bahwa
masuknya budaya Hindu ke Indonesia itu dibawa dan disebarluaskan oleh
orang-orang Indonesia sendiri. Bukti tertua pengaruh budaya India di
Indonesia adalah penemuan arca perunggu Buddha di daerah Sempaga
(Sulawesi Selatan). Dilihat dari bentuknya, arca ini mempunyai langgam
yang sama dengan arca yang dibuat di Amarawati (India). Para ahli
memperkirakan, arca Buddha tersebut merupakan barang dagangan atau
barang persembahan untuk bangunan suci agama Buddha. Selain itu, banyak
pula ditemukan prasasti tertua dalam bahasa Sanskerta dan Malayu kuno.
Berita yang disampaikan prasasti-prasasti itu memberi petunjuk bahwa
budaya Hindu menyebar di Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-7 Masehi.[4]
2. Interaksi Dengan Kebudayaan Indonesia dan Perkembanganya
Indonesia
adalah negara yang kaya akan budaya, dan sangat erat kaitanya dengan
tindak tutur manusia dalam kehidupannya sehari-hari. Khususnya Pulau
Jawa tradisi lokal pribumi Jawa sendiri sejak dulu telah mewarnai
kebudayaan setempat. Di tambah lagi dengan masuknya pengaruh dari
Hindu-Buddha yang di terima dengan baik dan ramah oleh orang-orang Jawa
karena memang banyak kesamaan dengan kepecayaan asli bangsa Indonesia.
Perkembangan Hindu-Buddha di Indonesia banyak ditandai dengan munculnya
kerajaan-kerajaan serta bangunan-bangunan yang bercorakan Hindu-Buddha,
diantaranya:
Kerajaan dan Bangunan Yang Bercorak Hindu
a. Kerajaan Kutai
Kerajaan
Kutai merupakan kerajaan tertua bercorak Hindu di Indonesia. Kerajaan
ini terletak di Kalimantan, tepatnya di hulu sungai Mahakam. Nama Kutai
sendiri diambil dari nama tempat ditemukannya prasasti yang
menggambarkan kerajaan tersebut. Tujuh buah yupa merupakan sumber utama
bagi para ahli untuk menginterpretasikan sejarah Kerajaan Kutai. Dari
salah satu yupa tersebut, diketahui bahwa raja yang memerintah Kerajaan
Kutai saat itu adalah Mulawarman.
Mulawarman
adalah anak Aswawarman dan cucu Kudungga, Nama Mulawarman dan
Aswawarman sangat kental dengan pengaruh bahasa Sansekerta. Putra
Kudungga, Aswawarman, kemungkinan adalah raja pertama kerajaan Kutai
yang bercorak Hindu. Ia juga diketahui sebagai pendiri dinasti Kerajaan
Kutai sehingga diberi gelar Wangsakerta, yang artinya pembentuk
Keluarga.
Putra
Aswawarman adalah Mulawarman. Dari yupa, diketahui bahwa pada masa
pemerintahan Mulawarman, Kerajaan Kutai mengalami masa keemasan. Wilayah
kekuasaannya meliputi hampir seluruh wilayah Kalimantan Timur. Rakyat
Kutai hidup sejahtera dan makmur.
b. Kerajaan Tarumanegara
Sumber
sejarah Kerajaan Tarumanegara diperoleh dari prasasti-prasasti yang
berhasil ditemukan. Namun, tulisan pada beberapa prasati, seperti pada
Prasati Muara Cianten dan Prasasti Pasir Awi sampai saat ini belum dapat
diartikan. Banyak informasi berhasil diperoleh dari tulisan pada kelima
prasasti lainnya, terutama Prasasti Tugu yang merupakan prasasti
terpanjang, Tujuh prasasti dari kerajaan Tarumanegara adalah: Prasasti
Ciaruteun, Prasasti Kebon Kopi, Prasasti Jambu, Prasasti Muara Cianten,
Prasasti Tugu, Prasasti Pasir Awi, dan Prasasti Munjul.
Sumber
sejarah penting lain yang dapat menjadi bukti keberadaan kerajaan
Tarumanegara adalah catatan sejarah pengelana Cina. Catatan sejarah
pengelana Cina yang menyebutkan keberadaan Kerajaan Tarumanegara adalah
catatan perjalanan pendeta Cina Fa-Hsein, pada tahun414 dan catatan
kerajaan Dinasti Sui dan Dinasti Tang. Dari salah satu prasasti,
yakniPrasati Ciaruteun yang ditemukan di Desa Ciampea, Bogor, diketahui
bahwa Purnawarman dikenal sebagai raja yang gagah berani. Data sejarah
yang lebih jelas, terdapat pada Prasasti Tugu. Pada prasasti yang
panjang ini, dikatakan bahwa pada tahun pemerintahannya yang ke-22,
Purnawarman telah menggali Sungai Gomati. Dari prasati tersebut, dapat
disimpulkan bahwa Purnawarman memerintah dalam waktu yang cukup lama.
Kerajaan dan Bangunan Yang Bercorak Buddha
a. Kerajaan Sriwijaya
Kerajaan
Sriwijaya didirikan ± abad ke-7 hingga tahun 1377.[5] Pada mulanya
Kerajaan Sriwijaya berpusat di sekitar Sungai Batanghari, pantai timur
Sumatra, tetapi pada perkembangannya wilayah kerajaan Sriwijaya meluas
hingga meliputi wilayah Kerajaan Melayu, Semenanjung Malaya, dan Sunda
(kini wilayah Jawa Barat). Catatan mengenai kerajaan-kerajaan di Sumatra
didapat dari seorang pendeta Buddha dari Tiongkok yang bernama I-Tsing
yang pernah tinggal di Sriwijaya antara tahun 685-689 M.
Dari
Prasasti Kedukan Bukit (683), dapat diketahui bahwa Raja Dapunta Hyang
berhasil memperluas wilayah kekuasaannya dengan menaklukan daerah
Minangatamwan, Jambi. Daerah Jambi sebelumnya adalah wilayah kerajaan
Melayu. Daerah itu merupakan wilayah taklukan pertama Kerajaan
Sriwijaya. Dengan dikuasainya wilayah Jambi, Kerajaan Sriwijaya memulai
peranannya sebagai kerajaan maritim dan perdagangan yang kuat dan
berpengaruh di Selat Malaka. Ekspansi wilayah Kerajaan Sriwijaya pada
abad ke-7 menuju ke arah selatan dan meliputi daerah perdagangan Jawa di
Selat Sunda.
Kerajaan
Sriwijaya mengalami kejayaan pada masa pemerintahan Raja Balaputradewa.
Pada masa itu, kegiatan perdagangan luar negeri ditunjang juga dengan
penaklukan wilayah-wilayah sekitar. Sepanjang abad ke-8, wilayah
Kerajaan Sriwijaya meluas kea rah utara dengan menguasai Semenanjung
Malaya dan daerah perdagangan di Selat Malaka dan Laut Cina Selatan.
Sejarah tentang Raja Balaputradewa dimuat dalam dua prasasti, yaitu
Prasasti Nalanda dan Prasasti Ligor.
Raja
kerajaan Sriwijaya yang terakhir adalah Sri Sanggrama
Wijayatunggawarman. Pada masa pemerintahan Sri Sanggrama
Wijayatunggawarman, hubungan Kerajaan Sriwijaya dan kerajaan Chola dari
India yang semula sangat erat mulai renggang. Hal itu disebabkan oleh
seranggan yang dilancarkan Kerajaan Chola di bawah pimpinan
Rajendracoladewa atas wilayah Sriwijaya di semenanjung Malaya.
Serangan-serangan tersebut menyebabkan kemunduran kerajaan Sriwijaya.
b. Sailendra di Mataram
Sekitar
tahun ± 775-850 M di daerah Bagelan dan Yogyakarta berkuasalah
raja-raja dari Wangsa Sailendra yang memeluk agama Buddha. Dan pada
kerajaan inilah Mataram mengalami masa keemasaan dan daerah-daerah yang
berada dibawah pemerintahan Sailendra. Dan pada masa raja Sailenra lah
banyak seniman-seniman Indonesia yang telah melahirkan karya-karya yang
mengagumkan, misalnya candi Borobudur, candi paling besar yang dibangun
pada masa pemerintahan raja Sailendra. Selain itu ada candi Pawon,
Mendut, Kalasan dan Sewu[6].
c. Kerajaan Majapahit
Kerajaan
bercorak Hindu yang terakhir dan terbesar di pulau Jawa adalah
Majapahit. Nama kerajaan ini berasal dari buah maja yang pahit rasanya.
Ketika orang-orang Madura bernama Raden Wijaya membuka hutan di Desa
Tarik, mereka menenukan sebuah pohon maja yang berubah pahit. Padahal
rasa buah itu biasanya manis. Oleh karena itu mereka menamakna
permukiman mereka itu sebagai Majapahit. Daerah ini merupakan daerah
yang diberikan Raja Jayakateang dari Kerajaan Kediri kepada Raden
Wijaya. Raja Wijaya adalah menantu Raja Kertanegara dari kerajaan
Singasari. Pada saat Kerajaan Singasari diserbu dan dikalahkan oleh
Jayakatwang, Raden Wijaya berhasil melarikan diri. Ia mencari
perlindungan kepada Bupati Madura yang bernama Arya Wiraraja. Dengan
bantuan orang-orang Madura, ia membangun pemuliman di Desa Tarik yang
kemudian diberi nama Majapahit tersebut.
Pada
tahun 1292, armada Cina yang terdiri dari 1.000 buah kapal dengan
20.000 orang prajurit tiba di Tuban, Jawa Timur. Tujuan mereka adalah
menghukum Raja Kertanegara yang menyatakan tidak mau tunduk kepada
Kaisar Kubilai Khan dari Cina. Mereka tidak mengetahui bahwa Raja
Kertanegara dari Singasari itu telah meninggal dikalahkan oleh Raja
Jayakatwang dari Kediri.
Melihat
peluang ini, Raden Wijaya mengambil kesempatan untuk merebut kembali
Kerajaan Singasari. Ia menggabungkan diri dengan pasukan cina dan
menyerang Raja Jayakatwang di Kediri. Kerajaan Kediri tidak mampu
menghadapi serangan itu. Raja Jayakatwang berhasil dikalahkan.
Kemenangan itu membuat pasukan Cina bergembira dan berpesta pora. Mereka
tidak menyaka kalau kesempatan itu dipakai oleh Raden Wijaya untuk
balik menyerang mereka. Pasukan Raden Wijaya berhasil mengusir armada
Cina kembali ketanah airnya. Sejak saat itu Kerajaan Majapahit dianggap
sudah berdiri.
Raden
Wijaya naik tahta sebagai Raja Majapahit pada tahun 1293 dengan gelar
Sri Kertarajasa Jayawardhana. Pada tahun 1295., berturut-turut pecah
pembrontakan yang dipimpin oleh Rangga lawe dan disusul oleh Saro serta
Nambi. Pembrontakan-pembrontakan itu bisa dipadamkan. Raden Wijaya wafat
pada tahun 1309 dan mendapat penghormatan di dua tempat, yaitu Candi
Simping (Sumberjati) dan Candi Artahpura.
Setelah
Raden Wijaya wafat, putera permaisuri Tribuwaneswari yang bernama
Jayanegara menggantikannya sebagai Raja Majapahit. Pada awal
pemerintahannya Jayanegara harus menghadapi sisa pemberontakan yang
meletus dimasa ayahnya masih hidup. Selain pembrontakan Kuti dan Sumi,
Raja Jayanegara diselamatkan oleh pasukan pengawal (Bhayangkari) yang
dipimpin oleh Gajah Mada ia kemudian diungsikan ke Desa Bedager.
Raja
Jayanegara wafat tahun1328 karena dibunuh oleh salah seorang anggota
dharmaoutra yang bernama Tanca. Oleh karena ia tidak mempunyai putra ia
kemudian digantikan oleh adik perempuannya Bhre Kahuripan yang bergelar
Tribuanatunggadewi Jayawishnuwardhani. Suaminya bernama Cakradhara yang
berkuasa di Singasari dengan gelar Kertawerdhana.
Dari
kitab Negarakertagama, digambarkan adanya beberapa pemberontakan di
masa pemerintahan Ratu Tribuanatunggadewi. Pembrontakan yang paling
berbahaya adalah pemberontakan di Sadeng dan Keta pada tahun 1331. Namun
pemberontakan itu pemberontakan itu dapat dipadamkan oleh Gajah Mada.
Setelah itu Gajah Mada bersumpah di hadapan Raja dan para pembesar
kerajaan bahwa ia tidak akan amukti palapa (memakan buah palapa),
sebelum ia dapat menundukan Nusantara.
Pada
tahun 1334, lahirlah putra mahkota Kerajaan Majapahit yang diberi nama
Hayam Wuruk. Pada tahun 1350, Ratu Tribuanatunggadewi mengundurkan diri
setelah berkuasa 22 tahun. Ia wafat pada tahun 1372. Pada tahun 1350,
Hayam Muruk dinobatkan sebagai raja Majapahit dan bergelar Sri
Rajasanagara. Gajah Mada diangkat sebagai Patih Hamangkubumi. Dibawah
pemerintahan Hayam Wuruk dan Gajah Mada, Kerajaan Majapahit mencapai
puncak kejayaannya. Kerajaan Majapahit menguasai wilayah yang sangat
luas. Hampir seluruh wilayah Nusantara tunduk pada Majapahit.
Gajah
Mada meninggal tahun 1364. Meninggalnya Gajah Mada menjadi titik tolak
kemunduran Majapahit. Setelah Gajah Mada tidak ada negarawan yang kuat
dan bijaksana. Keadaan semakin memburuk setelah Hayam Wuruk juga
meninggal pada tahun 1389. Hayam Wuruk tidak memiliki putra mahkota.
Tahta kerajaan Majapahit diberikan pada menantunya yang bernama
Wikramawardhana (suami dari putri mahkota Kusumawardhani). Hayam Wuruk
sebenarnya memiliki putra yang bernama Bhre Wirabhumi. Namun, dia bukan
anak dari permaisuri sehingga tidak berhak mewarisi tahta Kerajaan
Majapahit.
Meskipun
demikian, Wirabhumi tetap diberi kekuasaan di wilayah kekuasaan di
wilayah Kerajaan sebelah Timur, yaitu Blambangan. Dengan cara tersebut,
kemungkinan perpecahan antara Bhre Wirabhumi dan Wikramawardhana
berhasil diredam. Masalah kembali timbul ketika tahta Kerajaan Majapahit
kembali kosong setelah Kusumawardhani meninggal dunia pada tahun 1400.
Wikramawardhana berniat untuk menjadi pendeta dan menunjuk putrinya,
Suhita, menjadi ratu Kerajaan Majapahit.
Pada
tahun 1401, pecah perang antara keluarga Wikramawardhana dan Wirabhumi
yang dikenal sebagai Perang Paregreg. Perang Paregreg baru berakhir pada
tahun 1406 dengan terbunuhnya Bhre Wirabhumi. Parang saudara ini
semakin melemahkan Kerajaan Majapahit. Satu demi satu daerah
kekuasaannya melepaskan diri. Tidak ada lagi raja yang kuat dan mampu
memerintah kerajaan yang demikian luas. Menurut catatan. Kerajaan
Majapahit runtuh sekitar tahun 1500 yang didasarkan pada tahun bersimbol
Sirna Ilang Kertaning Bhumi.
SEJARAH MASUKNYA AGAMA HINDU DI BALI
Masa Prasejarah
Zaman
prasejarah Bali merupakan awal dari sejarah masyarakat Bali, yang
ditandai oleh kehidupan masyarakat pada masa itu yang belum mengenal
tulisan. Walaupun pada zaman prasejarah ini belum dikenal tulisan untuk
menuliskan riwayat kehidupannya, tetapi berbagai bukti tentang kehidupan
pada masyarakat pada masa itu dapat pula menuturkan kembali keadaanya
Zaman prasejarah berlangsung dalam kurun waktu yang cukup panjang, maka
bukti-bukti yang telah ditemukan hingga sekarang sudah tentu tidak dapat
memenuhi segala harapan kita.
Berkat
penelitian yang tekun dan terampil dari para ahli asing khususnya
bangsa Belanda dan putra-putra Indonesia maka perkembangan masa
prasejarah di Bali semakin terang. Perhatian terhadap kekunaan di Bali
pertama-tama diberikan oleh seorang naturalis bernama Georg Eberhard
Rumpf, pada tahun 1705 yang dimuat dalam bukunya Amboinsche Reteitkamer.
Sebagai pionir dalam penelitian kepurbakalaan di Bali adalah W.O.J.
Nieuwenkamp yang mengunjungi Bali pada tahun 1906 sebagai seorang
pelukis. Dia mengadakan perjalanan menjelajahi Bali. Dan memberikan
beberapa catatan antara lain tentang nekara Pejeng, Trunyan, dan Pura
Bukit Penulisan. Perhatian terhadap nekara Pejeng ini dilanjutkan oleh
K.C Crucq tahun 1932 yang berhasil menemukan tiga bagian cetakan nekara
Pejeng di Pura Desa Manuaba, Tegallalang.
Penelitian prasejarah di Bali dilanjutkan oleh Dr. H.A.R. van Heekeren dengan hasil tulisan yang berjudul Sarcopagus on Bali
tahun 1954. Pada tahun 1963 ahli prasejarah putra Indonesia Drs. R.P.
Soejono melakukan penggalian ini dilaksanakan secara berkelanjutan yaitu
tahun 1973, 1974, 1984, 1985. Berdasarkan hasil-hasil penelitian yang
telah dilakukan terhadap benda-benda temuan yang berasal dari tepi
pantai Teluk Gilimanuk diduga bahwa lokasi Situs Gilimanuk merupakan
sebuah perkampungan nelayan dari zaman perundagian di Bali. Di tempat
ini sekarang berdiri sebuah museum.
Berdasarkan
bukti-bukti yang telah ditemukan hingga sekarang di Bali, kehidupan
masyarakat ataupun penduduk Bali pada zaman prasejarah Bali dapat dibagi
menjadi :
- Masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana
- Masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut
- Masa bercocok tanam
- Masa perundagian
Masa Berburu dan Mengumpulkan Makanan Tingkat Sederhana
Sisa-sisa
dari kebudayaan paling awal diketahui dengan penelitian-penelitian yang
dilakukan sejak tahun 1960 dengan ditemukan di Sambiran (Buleleng
bagian timur), serta di tepi timur dan tenggara Danau Batur (Kintamani)
alat-alat batu yang digolongkan kapak genggam, kapak berimbas, serut dan
sebagainya. Alat-alat batu yang dijumpai di kedua daerah tersebut kini
disimpan di Museum Gedong Arca di Bedulu, Gianyar.
Kehidupan
penduduk pada masa ini adalah sederhana sekali, sepenuhnya tergantung
pada alam lingkungannya. Mereka hidup mengembara dari satu tempat
ketempat lainnya (nomaden). Daerah-daerah yang dipilihnya ialah daerah
yang mengandung persediaan makanan dan air yang cukup untuk menjamin
kelangsungan hidupnya. Hidup berburu dilakukan oleh kelompok kecil dan
hasilnya dibagi bersama. Tugas berburu dilakukan oleh kaum laki-laki,
karena pekerjaan ini memerlukan tenaga yang cukup besar untuk menghadapi
segala bahaya yang mungkin terjadi. Perempuan hanya bertugas untuk
menyelesaikan pekerjaan yang ringan misalnya mengumpulkan makanan dari
alam sekitarnya. Hingga saat ini belum ditemukan bukti-bukti apakah
manusia pada masa itu telah mengenal bahasa sebagai alat bertutur satu
sama lainnya.
Walaupun
bukti-bukti yang terdapat di Bali kurang lengkap, tetapi bukti-bukti
yang ditemukan di Pacitan (Jawa Timur) dapatlah kiranya dijadikan
pedoman. Para ahli memperkirakan bahwa alat-alat batu dari Pacitan yang
sezaman dan mempunyai banyak persamaan dengan alat-alat batu dari
Sembiran, dihasilkan oleh jenis manusia. Pithecanthropus erectus atau keturunannya. Kalau demikian mungkin juga alat-alat baru dari Sambiran dihasilkan oleh manusia jenis Pithecanthropus atau keturunannya.
Masa Berburu dan Mengumpulkan Makanan Tingkat Lanjut
Pada
masa ini corak hidup yang berasal dari masa sebelumnya masih
berpengaruh. Hidup berburu dan mengumpulkan makanan yang terdapat dialam
sekitar dilanjutkan terbukti dari bentuk alatnya yang dibuat dari batu,
tulang dan kulit kerang. Bukti-bukti mengenai kehidupan manusia pada
masa mesolithik berhasil ditemukan pada tahun 1961 di Gua Selonding,
Pecatu (Badung). Gua ini terletak di pegunungan gamping di Semenanjung
Benoa. Di daerah ini terdapat goa yang lebih besar ialah Gua Karang
Boma, tetapi goa ini tidak memberikan suatu bukti tentang kehidupan yang
pernah berlangsung disana. Dalam penggalian Gua Selonding ditemukan
alat-alat terdiri dari alat serpih dan serut dari batu dan sejumlah
alat-alat dari tulang. Di antara alat-alat tulang terdapat beberapa
lencipan muduk yaitu sebuah alat sepanjang 5 cm yang kedua ujungnya
diruncingkan.
Alat-alat
semacam ini ditemukan pula di sejumlah gua Sulawesi Selatan pada
tingkat perkembangan kebudayaan Toala dan terkenal pula di Australia
Timur. Di luar Bali ditemukan lukisan dinding-dinding gua, yang
menggambarkan kehidupan sosial ekonomi dan kepercayaan masyarakat pada
waktu itu. Lukisan-lukisan di dinding goa atau di dinding-dinding karang
itu antara lain yang berupa cap-cap tangan, babi rusa, burung, manusia,
perahu, lambang matahari, lukisan mata dan sebagainya. Beberapa lukisan
lainnya ternyata lebih berkembang pada tradisi yang lebih kemudian dan
artinya menjadi lebih terang juga di antaranya adalah lukisan kadal
seperti yang terdapat di Pulau Seram dan Papua, mungkin mengandung arti
kekuatan magis yang dianggap sebagai penjelmaan roh nenek moyang atau
kepala suku.
Masa Bercocok Tanam
Masa
bercocok tanam lahir melalui proses yang panjang dan tak mungkin
dipisahkan dari usaha manusia prasejarah dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya pada masa-masa sebelumnya. Masa neolithik amat penting dalam
sejarah perkembangan masyarakat dan peradaban, karena pada masa ini
beberapa penemuan baru berupa penguasaan sumber-sumber alam bertambah
cepat. Penghidupan mengumpulkan makanan (food gathering) berubah menjadi menghasilkan makanan (food producing).
Perubahan ini sesungguhnya sangat besar artinya mengingat akibatnya
yang sangat mendalam serta meluas kedalam perekonomian dan kebudayaan.
Sisa-sisa
kehidupan dari masa bercocok tanam di Bali antara lain berupa kapak
batu persegi dalam berbagai ukuran, belincung dan panarah batang pohon.
Dari teori Kern dan teori Von Heine-Geldern diketahui bahwa nenek moyang
bangsa Austronesia, yang mulai datang di kepulauan kita kira-kira 2000
tahun S.M ialah pada zaman neolithik. Kebudayaan ini mempunyai dua
cabang ialah cabang kapak persegi yang penyebarannya dari dataran Asia
melalui jalan barat dan peninggalannya terutama terdapat di bagian barat
Indonesia dan kapak lonjong yang penyebarannya melalui jalan timur dan
peninggalan-peninggalannya merata dibagian timur negara kita. Pendukung
kebudayaan neolithik (kapak persegi) adalah bangsa Austronesia dan
gelombang perpindahan pertama tadi disusul dengan perpindahan pada
gelombang kedua yang terjadi pada masa perunggu kira-kira 500 S.M.
Perpindahan bangsa Austronesia ke Asia Tenggara khususnya dengan memakai
jenis perahu cadik yang terkenal pada masa ini. Pada masa ini diduga
telah tumbuh perdagangan dengan jalan tukar menukar barang (barter) yang
diperlukan. Dalam hal ini sebagai alat berhubungan diperlukan adanya
bahasa. Para ahli berpendapat bahwa bahasa Indonesia pada masa ini
adalah Melayu Polinesia atau dikenal dengan sebagai bahasa Austronesia.
Masa Perundagian
Gong, yang ditemukan pula di berbagai tempat di Nusantara, merupakan alat musik yang diperkirakan berakar dari masa perundagian.
Dalam
masa neolithik manusia bertempat tinggal tetap dalam kelompok-kelompok
serta mengatur kehidupannya menurut kebutuhan yang dipusatkan kepada
menghasilkan bahan makanan sendiri (pertanian dan peternakan). Dalam
masa bertempat tinggal tetap ini, manusia berdaya upaya meningkatkan
kegiatan-kegiatannya guna mencapai hasil yang sebesar-besarnya dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya.
Pada
zaman ini jenis manusia yang mendiami Indonesia dapat diketahui dari
berbagai penemuan sisa-sisa rangka dari berbagai tempat, yang terpenting
di antaranya adalah temuan-temuan dari Anyer Lor (Banten), Puger (Jawa
Timur), Gilimanuk (Bali) dan Melolo (Sumbawa). Dari temuan kerangka yang
banyak jumlahnya menunjukkan ciri-ciri manusia. Sedangkan penemuan di
Gilimanuk dengan jumlah kerangka yang ditemukan 100 buah menunjukkan
ciri Mongoloid yang kuat seperti terlihat pada gigi dan muka. Pada
rangka manusia Gilimanuk terlihat penyakit gigi dan encok yang banyak
menyerang manusia ketika itu.
Berdasarkan
bukti-bukti yang telah ditemukan dapat diketahui bahwa dalam masyarakat
Bali pada masa perundagian telah berkembang tradisi penguburan dengan
cara-cara tertentu. Adapun cara penguburan yang pertama ialah dengan
mempergunakan peti mayat atau sarkofagus yang dibuat dari batu padas
yang lunak atau yang keras. Cara penguburannya ialah dengan
mempergunakan tempayan yang dibuat dari tanah liat seperti ditemukan di
tepi pantai Gilimanuk (Jembrana). Benda-benda temuan ditempat ini
ternyata cukup menarik perhatian di antaranya terdapat hampir 100 buah
kerangka manusia dewasa dan anak-anak, dalam keadaan lengkap dan tidak
lengkap. Tradisi penguburan dengan tempayan ditemukan juga di Anyar
(Banten), Sabbang (Sulawesi Selatan), Selayar, Rote dan Melolo (Sumba).
Di luar Indonesia tradisi ini berkembang di Filipina, Thailand, Jepang
dan Korea.
Kebudayaan
megalithik ialah kebudayaan yang terutama menghasilkan
bangunan-bangunan dari batu-batu besar. Batu-batu ini mempunyai biasanya
tidak dikerjakan secara halus, hanya diratakan secara kasar saja untuk
mendapat bentuk yang diperlukan. di daerah Bali tradisi megalithik masih
tampak hidup dan berfungsi di dalam kehidupan masyarakat dewasa ini.
Adapun temuan yang penting ialah berupa batu berdiri (menhir) yang
terdapat di Pura Ratu Gede Pancering Jagat di Trunyan. Di pura in
terdapat sebuah arca yang disebut arca Da Tonta yang memiliki ciri-ciri
yang berasal dari masa tradisi megalithik. Arca ini tingginya hampir 4
meter. Temuan lainnya ialah di Sembiran (Buleleng), yang terkenal
sebagai desa Bali kuna, disamping desa-desa Trunyan dan Tenganan.
Tradisi megalithik di desa Sembiran dapat dilihat pada pura-pura yang
dipuja penduduk setempat hingga dewasa ini. dari 20 buah pura ternyata
17 buah pura menunjukkan bentuk-bentuk megalithik dan pada umumnya
dibuat sederhana sekali. Di antaranya ada berbentuk teras berundak, batu
berdiri dalam palinggih dan ada pula yang hanya merupakan susunan batu
kali.
Temuan
lainnya yang penting juga ialah berupa bangunan-bangunan megalithik
yang terdapat di Gelgel (Klungkung).Temuan yang penting di desa Gelgel
ialah sebuah arca menhir yaitu terdapat di Pura Panataran Jro Agung.
Arca menhir ini dibuat dari batu dengan penonjolan kelamin wanita yang
mengandung nilai-nilai keagamaan yang penting yaitu sebagai lambang
kesuburan yang dapat memberi kehidupan kepada masyarakat.
Masuknya Agama Hindu
Gua Gajah (sekitar abad XI), salah satu peninggalan masa awal periode Hindu di Bali.
Berakhirnya
zaman prasejarah di Indonesia ditandai dengan datangnya bangsa dan
pengaruh Hindu. Pada abad-abad pertama Masehi sampai dengan lebih kurang
tahun 1500, yakni dengan lenyapnya kerajaan Majapahit merupakan
masa-masa pengaruh Hindu. Dengan adanya pengaruh-pengaruh dari India itu
berakhirlah zaman prasejarah Indonesia karena didapatkannya keterangan
tertulis yang memasukkan bangsa Indonesia ke dalam zaman sejarah.
Berdasarkan keterangan-keterangan yang ditemukan pada prasasti abad ke-8
Masehi dapatlah dikatakan bahwa periode sejarah Bali Kuno meliputi
kurun waktu antara abad ke-8 Masehi sampai dengan abad ke-14 Masehi
dengan datangnya ekspedisi Mahapatih Gajah Mada dari Majapahit yang
dapat mengalahkan Bali. Nama Balidwipa tidaklah merupakan nama baru,
namun telah ada sejak zaman dahulu. Hal ini dapat diketahui dari
beberapa prasasti, di antaranya dari Prasasti Blanjong yang dikeluarkan
oleh Sri Kesari Warmadewa pada tahun 913 Masehi yang menyebutkan kata
"Walidwipa". Demikian pula dari prasasti-prasasti Raja Jayapangus,
seperti prasasti Buwahan D dan prasasti Cempaga A yang berangka tahun
1181 Masehi.
Di
antara raja-raja Bali, yang banyak meninggalkan keterangan tertulis
yang juga menyinggung gambaran tentang susunan pemerintahan pada masa
itu adalah Udayana, Jayapangus , Jayasakti, dan Anak Wungsu. Dalam
mengendalikan pemerintahan, raja dibantu oleh suatu Badan Penasihat
Pusat. Dalam prasasti tertua 882-914, badan ini disebut dengan istilah
"panglapuan". Sejak zaman Udayana, Badan Penasihat Pusat disebut dengan
istilah "pakiran-kiran i jro makabaihan". Badan ini beranggotakan
beberapa orang senapati dan pendeta Siwa dan Budha.
Di
dalam prasasti-prasasti sebelum Raja Anak Wungsu disebut-sebut beberapa
jenis seni yang ada pada waktu itu. Akan tetapi, baru pada zaman Raja
Anak Wungsu, kita dapat membedakan jenis seni menjadi dua kelompok yang
besar, yaitu seni keraton dan seni rakyat. Tentu saja istilah seni
keraton ini tidak berarti bahwa seni itu tertutup sama sekali bagi
rakyat. Kadang-kadang seni ini dipertunjukkan kepada masyarakat di
desa-desa atau dengan kata lain seni keraton ini bukanlah monopoli
raja-raja.
Dalam
bidang agama, pengaruh zaman prasejarah, terutama dari zaman
megalitikum masih terasa kuat. Kepercayaan pada zaman itu
dititikberatkan kepada pemujaan roh nenek moyang yang disimboliskan
dalam wujud bangunan pemujaan yang disebut teras piramid atau bangunan
berundak-undak. Kadang-kadang di atas bangunan ditempatkan menhir, yaitu
tiang batu monolit sebagai simbol roh nenek moyang mereka. Pada zaman
Hindu hal ini terlihat pada bangunan pura yang mirip dengan pundan
berundak-undak. Kepercayaan pada dewa-dewa gunung, laut, dan lainnya
yang berasal dari zaman sebelum masuknya Hindu tetap tercermin dalam
kehidupan masyarakat pada zaman setelah masuknya agama Hindu. Pada masa
permulaan hingga masa pemerintahan Raja Sri Wijaya Mahadewi tidak
diketahui dengan pasti agama yang dianut pada masa itu. Hanya dapat
diketahui dari nama-nama biksu yang memakai unsur nama Siwa, sebagai
contoh biksu Piwakangsita Siwa, biksu Siwanirmala, dan biksu Siwaprajna.
Berdasarkan hal ini, kemungkinan agama yang berkembang pada saat itu
adalah agama Siwa. Baru pada masa pemerintahan Raja Udayana dan
permaisurinya, ada dua aliran agama besar yang dipeluk oleh penduduk,
yaitu agama Siwa dan agama Budha. Keterangan ini diperoleh dari
prasasti-prasastinya yang menyebutkan adanya mpungku Sewasogata (Siwa-Buddha) sebagai pembantu raja.
Kedatangan Ekspedisi Gajah Mada1343-1846
Ekspedisi
Gajah Mada ke Bali dilakukan pada saat Bali diperintah oleh Kerajaan
Bedahulu dengan Raja Astasura Ratna Bumi Banten dan Patih Kebo Iwa.
Dengan terlebih dahulu membunuh Kebo Iwa, Gajah Mada memimpin ekspedisi
bersama Panglima Arya Damar dengan dibantu oleh beberapa orang arya.
Penyerangan ini mengakibatkan terjadinya pertempuran antara pasukan
Gajah Mada dengan Kerajaan Bedahulu. Pertempuran ini mengakibatkan raja
Bedahulu dan putranya wafat. Setelah Pasung Grigis menyerah, terjadi
kekosongan pemerintahan di Bali. Untuk itu, Majapahit menunjuk Sri
Kresna Kepakisan untuk memimpin pemerintahan di Bali dengan pertimbangan
bahwa Sri Kresna Kepakisan memiliki hubungan darah dengan penduduk Bali
Aga. Dari sinilah berawal wangsa Kepakisan.
Periode Gelgel
Karena
ketidakcakapan Raden Agra Samprangan menjadi raja, Raden Samprangan
digantikan oleh Dalem Ketut Ngulesir. Oleh Dalem Ketut Ngulesir, pusat
pemerintahan dipindahkan ke Gelgel (dibaca /gɛl'gɛl/).
Pada saat inilah dimulai Periode Gelgel dan Raja Dalem Ketut Ngulesir
merupakan raja pertama. Raja yang kedua adalah Dalem Watu Renggong
(1460—1550). Dalem Watu Renggong menaiki singgasana dengan warisan
kerajaan yang stabil sehingga ia dapat mengembangkan kecakapan dan
kewibawaannya untuk memakmurkan Kerajaan Gelgel. Di bawah pemerintahan
Watu Renggong, Bali (Gelgel) mencapai puncak kejayaannya. Setelah Dalem
Watu Renggong wafat ia digantikan oleh Dalem Bekung (1550—1580),
sedangkan raja terakhir dari zaman Gelgel adalah Dalem Di Made
(1605—1686).
Zaman Kerajaan Klungkung
Kerajaan
Klungkung sebenarnya merupakan kelanjutan dari Dinasti Gelgel.
Pemberontakan I Gusti Agung Maruti ternyata telah mengakhiri Periode
Gelgel. Hal itu terjadi karena setelah putra Dalem Di Made dewasa dan
dapat mengalahkan I Gusti Agung Maruti, istana Gelgel tidak dipulihkan
kembali. Gusti Agung Jambe sebagai putra yang berhak atas takhta
kerajaan, ternyata tidak mau bertakhta di Gelgel, tetapi memilih tempat
baru sebagai pusat pemerintahan, yaitu bekas tempat persembunyiannya di
Semarapura.
Dengan
demikian, Dewa Agung Jambe (1710-1775) merupakan raja pertama zaman
Klungkung. Raja kedua adalah Dewa Agung Di Made I, sedangkan raja
Klungkung yang terakhir adalah Dewa Agung Di Made II. Pada zaman
Klungkung ini wilayah kerajaan terbelah menjadi kerajaan-kerajaan kecil.
Kerajaan-kerajaan kecil ini selanjutnya menjadi swapraja (berjumlah
delapan buah) yang pada zaman kemerdekaan dikenal sebagai kabupaten.
Kerajaan-Kerajaan Pecahan Klungkung
- Kerajaan Badung, yang kemudian menjadi Kabupaten Badung.
- Kerajaan Mengwi, yang kemudian menjadi Kecamatan Mengwi.
- Kerajaan Bangli, yang kemudian menjadi Kabupaten Bangli.
- Kerajaan Buleleng, yang kemudian menjadi Kabupaten Buleleng.
- Kerajaan Gianyar, yang kemudian menjadi Kabupaten Gianyar.
- Kerajaan Karangasem, yang kemudian menjadi Kabupaten Karangasem.
- Kerajaan Klungkung, yang kemudian menjadi Kabupaten Klungkung.
- Kerajaan Tabanan, yang kemudian menjadi Kabupaten Tabanan.
CANDI-CANDI PENINGGALAN AGAMA HINDU
No
Candi
Nama Candi
Letak
Dibangun
Abad ke -
Kerajaaan/Raja
Ciri-ciri Bangunan
Kawi
Tampak Siring,
Bali
Abad 11 M
Kerajaan
Tampak Siring
- Bangunannya di pahat dari tebing batu
Dieng
Kab. Banjarnegara,
Jawa Tengah
Antara abad 8 – 11 M
Kerajaan Kalingga
- Atap tidak kerucut
- Ruangan candinya kecil dan sempit
- Terdiri dari beberapa kelompok candi yang tersebar di atas pegunungan Dieng
Sambisari
Desa Sambisari,
Sleman – Yogyakarta
Sekitar abad 10 M
Raja dari Wangsa Sanjaya
- Terdapat patung siwa pada bilik utamanya
Gedong Songo
Kab. Semarang,
Jawa Tengah
Abad 9 M (Th. 927 M)
Raja dari zaman Dinasti Syailendra
- Memiliki 9 buah candi yang tersebar di lereng Gunung Ungaran
Prambanan
Klaten - Yogyakarta
Antara abad 9 - 10 M
Raja Rakai Pikatan,
Mataram Kuno
- Candi Hindu terbesar di Indonesia
-
Terbagi menjadi 3 bagian : halaman pertama (terdapat 3 candi utama,
yaitu : candi Wisnu, Brahma dan Siwa), halaman kedua (terdapat 224 buah
candi ) dan halaman ketiga
- Memiliki relief yang memuat kisah Ramayana
- Terdapat relief pohon kalpataru
Sawentar
Kab. Blitar,
Jawa Timur
Sekitar abad 13 M
Majapahit
- Menghadap ke arah barat
- Reliefnya berbentuk simbolis
Kidal
Kab. Malang
Jawa Timur
Thn. 1248 M
Kerajaan Singosari
- Terbuat dari batu andesit
- Terdapat banyak hiasan (hiasan medallion yang melingkar menghiasi badan candi & hiasan kepala kala diatas pintu masuk )
CANDI-CANDI PENINGGALAN AGAMA BUDHA
No
Candi
Nama Candi
Letak
Dibangun
Abad ke -
Kerajaaan/Raja
Ciri-ciri Bangunan
Mendut
Kab. Magelang,
Jawa Tengah
Abad 9 M
Ada patung Budha dari emas
Ngawen
Kab. Magelang,
Jawa Tengah
Abad 8 M
Mataram Kuno,
Dinasti Syailendra
- Memiliki 5 buah candi
- Candi ke 2 dan 4 terdapat patung singa di sudut
Borobudur
Kab. Magelang,
Jawa Tengah
Thn 760 SM
Mataram Kuno,
Dinasti Syailendra
- Candi Budha terbesar di Indonesia
- Banyak terdapat relief
- terdiri dari 3 bagian dasar (arupadatu, rupadatu & bagian puncak)
Kalasan
Desa Kalasan,
Yogyakarta
Akhir Abad 8 M (th. 778 M)
Raja dari zaman Dinasti Syailendra
- Tinggi candi 24 m
- Ada ukiran yang dipahat dan dilapisi getah yang berfungsi sebagai pelindung lumut
- Pondasinya dibangun dengan bentuk Greek Cross
Plaosan
Kab. Klaten
Surakarta – Solo
Abad 9 M (Th. 824 M)
Raja Rakai Pikatan,
Mataram Kuno
- Terdiri dari 2 kelompok candi ( lor dan kidul )
- Dikelilingi 116 buah stupa pewara dan 50 candi pewara
- Terdapat 6 buah arca di dalam kamar candi induk
Pawon
Kab. Magelang,
Jawa Tengah
Thn. 826 M
Mataram Kuno
- Terdapat 3 buah gambar di bagian depannya
- Banyak dihiasi stupa
- Memiliki 2 buah jendela kecil di belakang temboknya
Jabung
Kab. Probolinggo,
Jawa Timur
Thn. 1354 M
Kerajaan Singosari
- Bangunannya tidak terlalu besar
Jago
Kab. Malang,
Jawa Timur
Abad 12 M
Kerajaan Singosari
- Terdapat beberapa relief
- Bangunan bagian atas hanya tersisa sebagian karena tersambar petir
1. Persamaan dan perbedaan Agama Hindu-Buddha di India, Jawa dan Bali
Dilihat
dari sisi luar, perbedaan antara Hindu Indonesia dengan Hindu India
sangat kentara. Baik dari makanan yang dimakan, Pakaian sembahyang, Hari
Suci yang dirayakan maupun hal-hal lain yang bisa dilihat dengan kasat
mata. Sebagai contoh, orang-orang india dimana Veda diwahyukan, mereka
mayoritas vegetarian, sementara orang Hindu Indonesia (Bali,Jawa)
mayoritas non vegetarian. Umat hindu Bali dan Jawa sembahyang tiga kali
yang disebut dengan Tri Sandhya, sedangkan umat hindu dari India
biasanya sembahyang dua kali pagi dan sore.
Salah
satu contoh kesamaan ajaran yang bisa dijumpai di berbagai daerah di
Indonesia maupun di India adalah Lima Keyakinan yang dikenal dengan nama
Panca Sradda yaitu:
1. Percaya dengan adanya Tuhan,
2. Percaya dengan adanya Atman,
3. Percaya dengan adanya Hukum Karma Phala,
4. Percaya dengan adanya Reinkarnasi/Punarbawa/Samsara,
5. Percaya dengan adanya Moksa.
Di
Bali ada lagi lontar-lontar yang ditulis oleh para Mpu yang telah
mencapai tingkatan spiritual yang tinggi seperti: lontar sundari gama,
lontar buana kosa, lontar sangkul putih, dan lain-lain.
Perbedaan Agama Hindu-Buddha di India, Jawa dan Bali
Perbedaan
mulai tampak pada kerangka dasar yang ketiga yaitu yang disebut dengan
Upacara atau Ritual dan Hari Raya. Di sini tradisi dari masing-masing
wilayah mewarnai setiap upacara yang ada. Histori di setiap daerahpun
berbeda, peristiwa-peristiwa yang telah terjadi dalam perjalanan juga
tidak sama, sehingga melahirkan perayaan Hari Raya yang berbeda guna
memperingati peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah kehidupan manusia
yang pernah terjadi, yang nantinya bisa selalu diingat dan dijadikan
suri teladan dalam mengarungi kehidupan di maya pada ini.
Jangankan
Hindu India dan Indonesia, antara Hindu Bali dengan di Jawa saja ada
banyak perbedaan, untuk memahami perbedaan-perbedaan ini mari kita
tengok sejarah perkembangan Hindu di Bali seperti yang dituturkan oleh
Ida Pandita Nabe Sri Bhagavan Dwija dalam karyanya: “Hindu dalam Wacana
Bali Sentris”
2. Hindu Dharma dan Buddha Dharma
Hindu Dharma
Pada
tahun 1958 Agama Hindu Bali mendapat tempat di kementrian agama R.I.
sesudah Agama Hindu Bali mendapat tempat di kementrian agama dibentuklah
Dewan Agama Hindu Bali, yang sesudah kongres disebut Parisada Dharma Hindu Bali (1959), dan yang pada tahun 1964 diganti dengan Parisada Hindu Bali, hingga sekarang.
Buddha Dharma
Buddha
dharma adalah suatu ajaran yang menguraikan hakekat kehidupan
berdasarkan pandangan terang yang dapat membebaskan manusia dari
kesesatan dan kegelapan batin dan penderitaan disebabkan ketidak puasan.
Buddha dharma meliputi unsur-unsur agama, kebaktian, filosofi,
psikologi, falsafah, kebatinan, metafisika, tata susila, etika dan
sebagainya.
Dharma mengandung 4 makna Utama:
1. Doktrin
2. Hak, Keadilan, Kebenaran
3. Kondisi
4. Barang yang kelihatan atau fenomena.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar